Senin, 26 Juli 2010

Bremana-Bremani

Lakon ini oleh sebagian dalang disebut Bramana-Bramani, termasuk lakon pakem, tetapi akhir-akhir ini tidak populer. Kisahnya mengenai perkawinan putra Batara Brama, yakni Bramana dan Bramani dengan Dewi Sri Unon, putri Batara Wisnu.

Pada mulanya Dewi Srihunon diperistri oleh Bam-bang Bremani, salah seorang putra Batara Brama. Dari perkawinan itu Dewi Srihunon melahirkan putra tunggal bernama Bambang Parikenan, nenek moyang Pandawa dan Kurawa.

Setelah melahirkan Bambang Parikenan, Dewi Srihunon dikembalikan pada Batara Wisnu (mungkin, dalam istilah masa kini diceraikan), dan kemudian diperistri oleh Bambang Bremana, abang Bremani.

Ketika Dewi Srihunon hendak diperistri Bremana, mulanya wanita itu menolak. Namun, setelah dibujuk oleh bekas suaminya, yaitu Bremani, akhirnya Dewi Srihunon bersedia menjadi istri Bremana.

Dari perkawinannya dengan Prabu Bramana beberapa tahun kemudian Dewi Sri Unon melahirkan seorang putri cantik, Dewi Bremanawati, yang kemudian diperistri oleh Prabu Banjaranjali, raja Alengka.

Lakon ini jarang dipentaskan.

Ngruna-Ngruni atau Batara Surya Krama

Lakon ini termasuk lakon baku atau pakem yang menceritakan Batara Surya yang bertempat tinggal di Kahyangan Ekacakra menerima dua bidadari kakak beradik sebagai istrinya yang bernama Dewi Ngruna dan Dewi Ngnini. Sementara putri Batara Wisnu yang bernama Dewi Kastapi dalam perkawinannya dengan burung Brihawan membuahkan dua telur. Kemudian atas perintah Batara Guru, dua telur itu diberikan kepada Dewi Ngruna dan Ngruni. Telur milik Dewi Ngruna setelah dierami oleh seekor ular, menetas menjadi dua ekor burung yang diberi nama Sempati dan yang muda diberi nama Jatayu. Sedangkan telur milik Dewi Ngruni menetas seekor ular besar yang diberi nama Naga Gombang, dan yang kecil diberi nama Sawer Wisa.

Anak-anak yang berupa burung dan ular itu ternyata sangat sulit untuk di awasi. Mereka semua I nakal. Kedua bidadari itu lalu mengadakan teka-teki, barangsiapa yang kalah akan menjaga anak-anak itu. Dewi Ngruni memberikan pertanyaan : “Apakah yang terlihat di sana itu? Sapi jantan atau sapi betina?”. Ternyata Dewi Ngruni tidak dapat menebaknya, dan ia merasa malu karena kebodohannya. Ketika itu juga ular-ular datang dan membela ibunya dan segera menggigit kedua burung, dan sebaliknya burung-burung itu mematuk ular-ular sampai mati.

Karena marah oleh peristiwa itu, Dewi Ngruna mengutuk Ngruni. Katanya: “Dinda Ngruni bertindak seperti raseksi (raksasa wanita), jika akan menolong anak-anaknya”.

Seketika itu juga Dewi Ngruni berubah ujudnya menjadi raseksi, dan setelah ia sadar apa yang terjadi ia segera lari menemui Batara Surya agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya itu. Atas saran suaminya, Dewi Ngruni diminta menemui Batara Wisnu yang merupakan kakeknya dari telur-telur tadi, agar dapat meruwatnya.

Setelah peristiwa itu Sempati yang disertai burung Jatayu pergi bertapa ke Gunung Windu, sedangkan ular-ular sangat terkejut melihat ibunya menjadi raseksi, mereka melarikan diri terjun ke samudera.

Sementara itu di kahyangan kehidupan para dewa tidak tentram karena menerima ancaman Prabu Sengkan Turunan dari Kerajaan Parangsari yang menginginkan Dewi Ngruna dan Ngruni untuk dijadikan permaisuri. Prabu Sengkan Turunan dengan balatentara raksasa menyerang Kahyangan Suralaya. Para dewa tidak dapat menandingi kesaktian para raksasa itu.

Batara Wisnu menyatakan kepada Dewi Ngruni bahwa ia akan meruwatnya sehingga kembali pada ujud semula tetapi Dewi Ngruni harus menculik putri Prabu Sengkan Turunan yang bernama Retna Jatawati.

Dibantu oleh garuda Jatayu, Dewi Ngruni akhirnya berhasil membawa Dewi Jatawati.

Sementara itu Jatayu juga berhasil menghancurkan para tentara raksasa. Prabu Sengkan Turunan sangat marah setelah mengetahui bahwa pasukannya hancur, segera menyerang Suralaya dengan membabi buta. Pertempuran seru terjadi dengan dahsyatnya tetapi kemudian akhirnya ia dapat dikalahkan oleh burung Jatayu.

Batara Wisnu sangat gembira atas kemenangan Jatayu itu. Sebagai pernyataan terima kasih, Batara Wisnu kemudian menganugerahkan Retna Jatawati sebagi istri Jetayu.

Sesuai dengan janjinya, Ngruni dirubah ujudnya menjadi bidadari yang cantik seperti semula dan tetap tinggal di Nguntarasegara. Setelah melihat istrinya menjadi bidadari. Batara Surya membujuk untuk kembali ke pangkuannya, tetapi Dewi Ngruni menolak. Baru setelah ada perintah dari Batara Guru, yang menjadi pemuka para dewa, akhirnya Ngruni bersedia menjadi istri Batara Surya kembali.

Lakon ini cukup sering dipentaskan tapi kurang populer.

Sri Wisnu Krama (Batara Wisnu Kawin)

Sang Hyang Pramesti Guru, akan mengawinkan Batara Wisnu dengan Dewi Pratiwi, putri Batara Ekawara dari Kahyangan Ekapratala. Untuk melaksanakan niat tersebut Batara Guru mengutus Batara Narada untuk menjemput Dewi Pratiwi. Namun ternyata Dewi Pratiwi menolak jemputan itu karena ia mempunyai permintaan atau syarat, ia hanya akan kawin dengan pria yang dapat membawakan bunga Wijayakusuma.

Sementara itu pada suatu malam Endang Sumarsi putri Begawan Kesawasidi dari Pertapaan Argajati -bermimpi kawin dengan Batara Wisnu.

Pagi harinya ia minta kepada ayahnya agar mencarikannya orang yang menjadi idamannya itu. Sang Begawan menuruti permintaan putrinya, pergi mencari. Tak berapa lama kemudian Begawan Kesawasidi bertemu dengan Batara Wisnu yang diiringi oleh Semar, Gareng dan Petruk. Kesawasidi mengutarakan maksudnya, tetapi ternyata Batara Wisnu menolak. Baru setelah dengan kekerasan, Wisnu menuruti kehendak Kesawasidi.

Setelah tiba di Pertapaan Argajati, Batara Wisnu segera dikawinkan dengan Endang Sumarsi. Setelah beberapa hari tinggal di pertapaan, Batara Wisnu mengatakan kepada mertuanya bahwa ia mencari bunga Wijayakusuma dan minta pertapa itu membantunya. Sang Kesawasidi yang memiliki bunga itu tidak keberatan dan memberikan Wijayakusuma sebagai sarana untuk mengawini Batari Pratiwi.Setelah Batara Wisnu mendapatkan bunga Wijayakusuma, segera menuju Ekapratala.

Sementara itu Prabu Wisnudewa, raja raksasa dari Garbapitu juga melamar Batari Pratiwi. Setelah mendengar laporan patihnya bahwa calon mempelai putri menginginkan bunga Wijayakusuma, ia sangat bergembira, sebab sang Raja mempunyai banteng yang berwarna biru hitam pada lehernya terdapat cangkok/ cabang dari bunga Wijayakusuma.

Karenanya ia segera berangkat ke Kahyangan Ekapratala. Namun, betapa kecewanya karena setelah tiba di Kahyangan Ekapratala, ternyata Batari Pratiwi telah dikawinkan dengan Batara Wisnu. Hal ini membuat Prabu Wisnudewa murka.

Bersama bala tentaranya, Prabu Wisnudewa menyerang serta berusaha merebut Batari Pratiwi. Peperangan terjadi, Prabu Wisnudewa dan banteng yang aneh dapat dibunuh Wisnu dan keduanya menyatu (merasuk) pada tubuh Wisnu. Demikian pula, Cangkok Wijayakusuma akhirnya menyatu dengan bunganya.

Lakon ini termasuk lakon pokok tetapi jarang dipentaskan.

Batara Guru Krama

Seorang saudagar bernama Omar an (Umaran), yang tidak punya tempat tinggal tetap karena selalu berkeliling dari kerajaan yang satu ke kerajaan lainnya. Istrinya yang bernama Dewi Nurweni adalah anak raja Gandarwa (jin). Mereka mempunyai anak bernama Uma.

Saat Uma Jahir dari rahim ibunya, ia bukan berupa bayi biasa, melainkan perujud segumpal cahaya merah yang segera melesat ke angkasa. Cahaya itu melayang ke sana kemari. Sang Ayah segera mengejar dan mencoba menangkapnya, tetapi selalu gagal.

Karenanya Umaran hanya bisa mengikutinya tanpa berhasil menangkapnya.

Akhirnya cahaya itu hinggap di puncak Gunung Tengguru, suatu tempat yang dikuasai para gandarwa. Di tempat itu saudagar Umaran lalu bersamadi, mohon pada Yang Maha Kuasa agar anaknya yang berujud cahaya itu dapat diujudkan menjadi bayi biasa. Namun, karena waktu itu ia tidak tahu, apakah anaknya yang berujud cahaya itu seorang lelaki atau perempuan, Umaran hanya memohon pengubahan ujud menjadi manusia, tidak peduli apakah lelaki atau perempuan. Do’anya terkabul. Cahaya ajaib itu menjelma menjadi bayi, tetapi memiliki kelainan. Bayi itu berkelamin ganda. Setelah berujud bayi. Saudagar Umaran membawanya ke Kerajaan Merut dan diberi nama Umayi — yang artinya anak ibu. Meskipun prihatin dengan kelainan yang diderita anaknya, Umaran dan istrinya memelihara anaknya dengan penuh kasih sayang.

Umayi ternyata tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik, walaupun ia tetap berkelamin ganda. Sejak gadis remaja. Dewi Umayi yang dalam DEWI UMA, istri Batara, lebih sering disebut Dewi Uma, gemar menuntut berbagai ilmu, gemar pula bertapa, sehingga akhirnya ia memiliki kesaktian yang sulit dicari tandingnya. Karena kesaktian yang dimiliki inilah maka Dewi Uma kemudian ingin menjadi penguasa dunia.

Berita dan cerita mengenai kesaktian dan kecantikan Dewi. Uma akhirnya terdengar oleh Batara Gum, penguasa kahyangan. Pemuka dewa itu mendatanginya, untuk menyaksikan sendiri gadis cantik yang telah didengar melalui berita orang itu. Namun, kedatangan Batara Guru telah diketahui sebelumnya oleh Uma.

Untuk menguji kesaktian Batara Guru, gadis itu mengubah ujudnya menjadi seekor ikan turbah dan terjun ke dasar samudra. Pada awalnya Batara Guru bingung karena tidak dapat segera menemukan gadis yang dicarinya. Namun setelah mengamalkan kesaktiannya, ia tahu bahwa Dewi Uma mempermainkan dirinya dengan mengubah ujud menjadi ikan di daiam samudra.

Batara Guru segera memburu ikan jelmaan Dewi Uma itu di lautan. Waktu nyaris tertangkap, ikan itu menjelma kembali menjadi gadis cantik yang melesat terbang ke angkasa. Batara Guru menyusulnya. Teijadi kejar-mengejar di angkasa. Namun, setiap kali hendak tertangkap. Dewi Uma selalu saja dapat meloloskan diri karena kulit tubuhnya yang halus itu amat licin bagaikan belut. Dengan begitu, usaha Batara Guru meringkus gadis cantik yang lincah dan sakti itu selalu gagal.

Karena kesal dan penasaran, Batara Gum lalu mohon pada kakeknya, Sang Hyang Wenang, agar ia diberi tambahan sepasang tangan supaya dapat menangkap Dewi Uma. Permohonannya terkabul. Seketika itu juga tumbuh dua tangan baru di bahu Batara Gum, sehingga sejak itu dewa itu bertangan empat. Setelah bertangan empat, barulah Dewi Uma dapat ditangkap.

Sebagai hukuman, karena merasa kesal Batara Guru mencabut semua kesaktian yang dimiliki Dewi Uma. Batara Guru lalu meruwat gadis itu sehingga alat kelamin prianya hilang, dan hanya tersisa alat kelamin wanitanya saja.

Sesudah menjadi wanita yang sempurna, Batara Guru kemudian memperistrinya.

Lakon Para Dewa - Jagad Gumelar atau Manikmaya

Terjadinya Alam Semesta.

Lakon ini mengisahkan tentang terjadinya alam semesta dalam pewayangan. Yang Maha Kuasa men-ciptakan alam dengan suara mendengung, kemudian tampak cahaya bulat, berputar. Cahaya yang bentuknya serupa telur itu ditangkap oleh Sang Hyang Maha Kuasa, lalu dicipta menjadi tiga ujud.

Bagian kulit cahaya itu menjadi bumi dan langit, bagian isinya menjadi Cahya atau Teja, dan intinya menjadi Manik dan Maya. Keempatnya lalu dipuja kembali menjadi ujud manusia, berupa bambangan bagus.

Mereka diberi nama Batara Manik, Batara Nura-da, Batara Antaga, dan Batara Ismaya, dan diberi tugas untuk membuat lakon. Batara Manik diperintahkan untuk berkuasa di alam Triloka; Batara Nurada diperintahkan membantu Batara Manik; Batara Ismaya ditugasi untuk momong manusia di dunia yang berbudi luhur; sedangkan Batara Antaga harus menjadi pamong manusia yang jahat.

Keempat makhluk ciptaan Sang Hyang Maha Kuasa menyatakan sanggup dan pergi ke tempat tugasnya masing-masing. Selanjutnya Batara Manik dikenal sebagai Batara Guru; Batara Nurada sebagai Batara Narada; Batara Antaga sebagai Togog atau Tejamantri; Batara Ismaya sebagai Semar alias Badranaya.

Batara Guru kemudian menikah dengan Dewi Uma, putri Batara Umaran dari Kerajaan Parasu. Mereka kemudian memperanakkan para dewa.

Suatu ketika Batara Guru mengatakan bahwa Pulau Jawa masih miring letaknya. Bagian barat pulau itu ada Gunung Jamurdipa yang besar dan tinggi. Agar seimbang Batara Guru memerintahkan sekalian anak-anaknya untuk memotong gunung itu dan memindahkannya sebagian ke bagian timur pulau.

Ketika para dewa menggempur Gunung Jamurdipa. ternyata mereka merusak kahyangan tempat tinggal Batara Calakuta, makhluk ciptaan Sang Hyang Maha Kuasa lainnya. Batara Calakuta memerintahkan segala jenis makhluk berbisa. Teijadilah perang antara para Dewa melawan Batara Calakuta dan anak buahnya.

Batara Calakuta kalah dan lari ke lereng Gunung Jamurdipa sebelah timur. Di tempat itu ia menciptakan kolam yang jernih airnya tetapi amat berbisa. Sewaktu para dewa sampai ketempat itu dan meminum airnya, mereka tewas semua.

Batara Guru yang menyusul ke tempat itu heran mengapa semua dewa mati. Sementara itu, karena haus ia juga meneguk air kolam berbisa itu. Namun, begitu sampai di tenggorokannya, ia sadar bahwa air itu berbisa. Segera dimuntahkannya air itu. Namun, karena pekatnya bisa itu, leher Batara Guru menjadi biru. Itulah sebabnya ia bergelar Batara Nilakanta, yang artinya si Leher Biru.

Dengan air kehidupan, para dewa kemudian dihidupkan kembali.

Sementara itu, raksasa gandarwa Rembuculung tiba-tiba datang dan merebut air kehidupan dan menelannya. Batara Candra memergokinya dan melaporkan kepada Batara Wisnu. Dengan senjata Cakra, Batara Wisnu memenggal leher Rembuculung. Bagian tubuh dari leher ke bawah mati, tetapi kepala Rembuculung tetap hidup. Kepala raksasa gandarwa itu dendam kepada Batara Candra.

Selanjutnya untuk memelihara alam ciptaan Sang Hyang Kuasa, Batara Guru juga mencipta beberapa dewa lainnya.